MAKALAH
MATA KULIAH
FILSAFAT
ILMU PENDIDIKAN
‘EKSISTENSI
TEORI NILAI DALAM KAJIAN AKSIOLOGI FILSAFAT ILMU PENDIDIKAN’
|
DOSEN PEMBIMBING :
Dr.
HASANUDDIN JUMARENG, M.S
DI SUSUN OLEH :
NURJANNAH
(G2G1
16 054)
KELAS
IPS C
UNIVERSITAS
HALU OLEO
PROGRAM
PASCA SARJANA
PENDIDIKAN
IPS
2016/2017
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang
telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul ‘EKSISTENSI
TEORI NILAI DALAM KAJIAN AKSIOLOGI FILSAFAT ILMU PENDIDIKAN’ sebagai
salah satu kegiatan belajar dan sebagai tugas mata kuliah Filsafat Ilmu
Pendidikan.
Penulis
menyadari bahwa makalah ini tidak terlepas dari bimbingan bapak dosen, maka
pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Hasanuddin Jumareng, M.S
selaku dosen Mata Kuliah Filsafat Ilmu Pendidikan yang telah memberikan
bimbingan selama proses perkuliahan.
Penulis
menyadari bahwa makalah ini masih terdapat banyak kekurangan dalam
penulisannya, maka dari itu diharapkan kritik dan saran yang konstruktif dari
para pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
Semoga makalah
ini bermanfaat bagi penulis dan Mata Kuliah Filsafat Ilmu Pendidikan pada
umumnya.
Kendari, 2017
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR …………………………………….. i
DAFTAR ISI …………………………………. ii
BAB I PENDAHULUAN ………………………………… 1
1.1.
Latar Belakang ………………………………… 1
1.2.
Rumusan Masalah ……………………………… 2
1.3.
Tujuan Penulisan ……………………………….. 2
BAB II LANDASAN TEORI ………………………………... 3
A.
Konsep
dan Kajian Filsafat Ilmu Pendidikan… 3
B.
Konsep
Nilai ……………………………………… 6
BAB III
PEMBAHASAN ……………………………. 7
A.
Kajian Aksiologi Dalam
Filsafat Ilmu Pendidikan ………………………… 7
B.
Eksistensi Teori Nilai dalam Kajian Aksiologi
Filsafat Ilmu Pengetahuan…………………………. 12
BAB III
KESIMPULAN …………………………… 17
DAFTAR PUSTAKA ……………………………….. 18
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
LATAR BELAKANG
Pada
era globalisasi dan modernisasi saat ini, di mana banyak terjadi perubahan nilai nilai yang drastis akibat
perubahan sosial dalam berbagai dimensi kehidupan masyarakat, maka manusia
sangat membutuhkan eksistensi nilai-nilai kehidupan sebagai dasar pola pikir
dan pola laku yang wajib di
aktualisasikan dalam pergaulan masyarakat.
Nilai
kehidupan ini memberikan kita jaminan rasa aman dan tenang. Inilah merupakan
kekayaan sejati umat manusia.
Nilai-nilai kehidupan bagaikan teman yang memberikan kebahagiaan. Dengan
nilai-nilai kehidupan yaitu kerjasama, kebebasan, kebahagiaan, kejujuran,
kerendahan hati, seseorang mempunyai
kehormatan diri dan martabat.
Nilai bagi manusia berfungsi sebagai
landasan, alasan, atau motivasi dalam segala tingkah laku dan perbuatannya.
Nilai mencerminkan kualitas pilihan tindakan dan pandangan hidup seseorang atau
masyarakat. Sebuah interaksi sosial memerlukan pertimbangan nilai baik itu
dalam mendapatkan hak maupun dalam menjalankan kewajiban. Dengan demikian,
nilai mengandung standar normatif dalam perilaku individu maupun dalam
masyarakat.
Pembahasan
tentang nilai dalam ilmu filsafat dibahas melalui cabang filsafat yang disebut
aksiologi. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk
melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Teori nilai yang dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika dan
estetika.Oleh karena itu, dalam makalah ini kami akan membahas lebih jauh
mengenai ‘EKSISTENSI TEORI NILAI DALAM KAJIAN
AKSIOLOGI FILSAFAT ILMU PENDIDIKAN’
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut,
maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah ;
1. Bagaimana
Konsep Kajian Aksiologi Dalam Filsafat Ilmu Pendidikan ?
2. Bagaimana
Eksistensi Teori Nilai dalam Kajian Aksiologi
Filsafat Ilmu Pengetahuan ?
1.3
Tujuan Penulisan
Penulisan
makalah bertujuan untuk membahas eksistensi teori nilai dalam kajian aksiologis
filsafat ilmu pendidikan. sebagaimana yang terdapat dalam rumusan masalah di
atas, yaitu :
1. Untuk
membahas konsep kajian Aksiologi dalam Filsafat Ilmu Pendidikan
2. Untuk
membahas bagaimana eksistensi Teori Nilai dalam Kajian Aksiologi Filsafat Ilmu Pengetahuan ?
BAB
II
LANDASAN
TEORI
C.
Konsep
dan Kajian Filsafat Ilmu Pendidikan
Perkataan
Inggris philosophy yang berarti filsafat berasal dari kata Yunani “philosophia”
yang lazim diterjemahkan sebagai cinta kearifan. Akar katanya ialah philos
(philia, cinta) dan sophia (kearifan). Menurut pengertiannya yang semula dari
zaman Yunani Kuno itu filsafat berarti cinta kearifan. Namun, cakupan
pengertian sophia yang semula itu ternyata luas sekali. Dahulu sophia tidak
hanya berarti kearifan saja, melainkan meliputi pula kebenaran pertama,
pengetahuan luas, kebajikan intelektual, pertimbangan sehat sampai kepandaian
pengrajin dan bahkan kecerdikkan dalam memutuskan soal-soal praktis.
Banyak
pengertian-pengertian atau definisi-definisi tentang filsafat yang telah
dikemukakan oleh para filsuf. Menurut Merriam-Webster (dalam Soeparmo, 1984),
secara harafiah filsafat berarti cinta kebijaksanaan. Maksud sebenarnya adalah
pengetahuan tentang kenyataan-kenyataan yang paling umum dan kaidah-kaidah
realitas serta hakekat manusia dalam segala aspek perilakunya seperti: logika,
etika, estetika dan teori pengetahuan.
Secara
terminologi, menurut Surajiyo (2010:
4) filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki segala sesuatu yang ada secara mendalam dengan
menggunakan akal sampai pada hakikatnya. Filsafat bukan
mempersoalkan gejala-gejala atau fenomena, tetapi yang dicari adalah hakikat dari sesuatu
fenomena. Hakikat adalah suatu prinsip yang menyatakan “sesuatu” adalah
“sesuatu” itu adanya. Filsafat mengkaji sesuatu yang ada dan yang mungkin
ada secara mendalam dan
Menurut sejarah
kelahiran istilahnya, filsafat terwujud sebagai sikap yang ditauladankan oleh
Socrates. Yaitu sikap seorang yang cinta kebijaksanaan yang mendorong pikiran
seseorang untuk terus menerus maju dan mencari kepuasan pikiran, tidak merasa
dirinya ahli, tidak menyerah kepada kemalasan, terus menerus mengembangkan
penalarannya untuk mendapatkan kebenaran (Soeparmo,
1984).
Timbulnya
filsafat karena manusia merasa kagum dan merasa heran. Pada tahap awalnya
kekaguman atau keheranan itu terarah pada gejala-gejala alam. Dalam
perkembangan lebih lanjut, karena persoalan manusia makin kompleks, maka tidak
semuanya dapat dijawab oleh filsafat secara memuaskan. Jawaban yang diperoleh
menurut Koento Wibisono dkk. (1997), dengan melakukan refleksi yaitu berpikir
tentang pikirannya sendiri. Dengan demikian, tidak semua persoalan itu harus
persoalan filsafat.
Seluruh ilmu hakikatnya berinduk dari
filsafat. Sikap dasar selalu bertanya menjadi ciri filsafat, menurun pada
berbagai cabang ilmu yang semula berinduk padanya. Karenanya, dalam semua ilmu
terdapat kecenderungan dasar itu. Manakala ilmu mengalami masalah yang sulit
dipecahkan, ia akan kembali pada filsafat dan memulainya dengan sikap dasar
untuk bertanya. Dalam filsafat, manusia mempertanyakan apa saja dari berbagai
sudut, secara totalitas menyeluruh, menyangkut hakikat inti, sebab dari segala
sebab, mancari jauh ke akar, hingga ke dasar.
Secara garis besar, filsafat memiliki tiga bidang kajian
filsafat, yaitu:
1. Kajian Ontologi
Ontologi membahas tentang apa yang ingin
kita ketahui.
a. Apa
yang ingin diketahui oleh ilmu? atau dengan perkataan lain, apakah yang menjadi
bidang telaah ilmu?
b. Suatu
pertanyaan:
c. Obyek
apa yang ditelaah ilmu ?
d. Bagaimana
wujud yang hakiki dari obyek tersebut ?
e. Bagaimana
hubungan antara obyek tadi dengan daya tangkap manusia [seperti berpikir,
merasa dan mengindera] yang membuahkan pengetahuan.[inilah yang mendasari
Ontologi].
Ontologi membahas bidang kajian ilmu
atau obyek ilmu. Penentuan obyek ilmu diawali dari subyeknya. Yang dimaksud
dengan subyek adalah pelaku ilmu. Subyek dari ilmu adalah manusia; bagian
manusia paling berperan adalah daya pikirnya.
2. Kajian Epistemologi
Epistemologi mempermasalahkan
kemungkinan mendasar mengenai pengetahuan[very possibility of knowledge]. Dalam
perkembangannya epistemology menampakkan jarak yang asasi antara rasionalisme
dan empirisme, walaupun sebenarnya terdapat kecenderungan beriringan.
Landasanepistemology tercermin secara operasional dalam metode ilmiah . Pada
dasarnya metode ilmiah merupakan cara ilmu memperoleh dan menyusun tubuh
pengetahuan dengan berdasarkan :
a. Kerangka
pemikiran yang bersifat logis dengan argumentasi yang konsisten dengan
pengetahuan sebelumnya yang telah berhasil disusun;
b. Menjabarkan
hipotesis yang merupakan deduksi dari kerangka tersebut dan melakukan
verifikasi terhadap hipotesis termaksud dengan menguji kebenaran pernyataan
secara factual.
3. Kajian Aksiologi
Permasalahan aksiologi meliputi sifat
nilai, tipe nilai, kriteria nilai, status metafisika nilai. Pada adasarnya ilmu
harus digunakan untuk kemaslahatan umat manusia. Ilmu dapat dimanfaatkan
sebagai sarana untuk meningkatkan taraf hidup manusia dan kesejahteraannya
dengan menitik beratkan pada kodrat dan martabat.
D.
Konsep
Nilai Dalam Filsafat Ilmu Pendidikan
Nilai secara etimologi berasal dari kata value (inggris)
yang berasal dari velere (latin) yang mempunyai arti kuat,baik, dan berharga.
Nilai adalah suatu yang berharga,baik, dan berguna bagi manusia. Nilai dapat
diartikan suatu penghargaan atau suatu kualitas terhadap suatu hal yang dapat menjadi
dasar penentu tingkah laku manusia.
Hakikat dan
makna nilai adalah berupa norma, etika, peraturan, undang-undang, adat
kebiasaan, aturan agama dan rujukan lainnya yang memiliki harga dan dirasakan
berharga bagi seseorang. Nilai bersifat abstrak, berada dibalik fakta,
memunculkan tindakan, terdapat dalam moral seseorang, muncul sebagai ujung
proses psikologis, dan berkembang kearah yang lebih kompleks.
Dalam Kanal pendidikan, istilah nilai mengacu pada
aksiologi pendidikan, sejauh mana pendidikan itu memunculkan dan menerapkan
nilai/moral kepada peserta didik (Zaim Elmubarok:11-12).
Pengertian nilai menurut para ahli (Sofyan Sauri, dan
herlan Firmansyah: 2010: 3-5):
1. Menurut
Fraenkel (1977) “A Value is an idea- a concept about- what some thinks is important
in life ( nilai adalah ide atau konsep tentang apa yang dipikirkan seseorang
atau dianggap penting oleh seseorang)
2. Danandjaja,
nilai merupakan pengertian-pengertian (conceptions) yang dihayati seseorang
mengenai apa yang lebih penting atau kurang penting, apa yang lebih baik atau
kurang baik, dan apa yang lebih benar atau kurang benar.
3. Kluckhohn
(mulyana, 2004:1) Nilai adalah konsepsi (tersurat atau tersirat, yang sifatnya
membedakan individu atau ciri-ciri kelompok) dari apa yang diinginkan, yang
memengaruhi tindakan pilihan terhadap cara, tujuan antar dan tujuan akhir.
Defenisi ini berimplikasi terhadap pemaknaan nilai-nilai budaya, seperti yang
diungkapkan oleh Brameld dalam bukunya tentang landasan-landasan budaya
pendidikan. Dia mengungkapkan ada enam implikasi terpenting, yaitu sebagai
berikut:
a.
Nilai merupakan konstruk yang melibatkan
proses kognitif (logis dan rasional) dan proses ketertarikan dan penolakan
menurut kata hati.
b.
Nilai selalu berfungsi secara potensial,
tetapi tidak selalu bermakna apabila diverbalisasi.
c.
Apabila hal itu berkenaan dengan budaya,
nilai diungkapkan dengan cara unik oleh individu atau kelompok.
d.
Karena kehendak tertentu dapat bernilai atau
tidak, maka perlu diyakini bahwa pada dasarnya disamakan (aquated) dari pada diinginkan,
ia didefenisikan berdasarkan keperluan system kepribadian dan sosiol budaya
untuk mencapai keteraturan dan menghargai orang lain dalam kehidupan social.
e.
Pilihan diantara nilai-nilai alternative
dibuat dalam konteks ketersediaan tujuan antara (means) dan tujuan akhir (ends)
f.
Nilai itu ada, ia merupakan fakta alam,
manusia, budaya, dan pada saat yang sama ia adalah norma-norma yang telah
disadari.
Dari
beberapa pendapat para ahli diatas, maka dapat disimpulkan bahwa nilai itu
adalah sesuatu hal yang bersifat abstrak, seperti penilaian baik atau buruknya
sesuatu, penting atau kurang penting, apa yang lebih baik atau kurang baik, dan
apa yang lebih benar atau kurang benar yang dapat mempengaruhi perilaku manusia
dalam bertindak atau berbuat sesuatu hal dalam kehidupan sosial.
Menurut
Max Scheller dalam kaelan menyebutkan hirarki nilai tersebut terdiri atas
(Sofyan Sauri dan Herlan Firmansyah: 2010: 9)
1. Nilai
kenikmatan, yaitu nilai yang mengenakan atau tidak mengenakan, berkitan dengan
indra manusia yang menyebabkan manusia senang atau menderita.
2. Nilai
kehidupan, yaitu nilai yang penting bagi kehidupan
3. Nilai
kejiwaan, yaitu nilai yang tidak bergantung pada keadaan jasmani maupun
lingkungan.
4. Nilai
kerohanian, yaitu maralitas nilai dari yang suci dan tidak suci.
Adapun
dalam Notonagoro dalam Darji (11984:66-67) membagi hirearki nilai pada tiga
tingkatan, yaitu sebagai berikut (Sofyan Sauri, dan Herlan Firmansyah: 2010: 9)
:
1. Nilai
material, yaitu segala sesuatu yang erguna bagi unsure jasmani manusia.
2. Nilai
vital, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk dapat mengadakan
kegiatan.
3. Nilai
kerohanian, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi rohani manusia.
Di
Indonesia (khususnya pada dekade penataran P4), hirearki Nilai dibagi tiga
(kaelan, 2002), yaitu sebagai berikut (Sofyan Sauri dan Herlan Firmansyah:
2010: 9)
1. Nilai
dasar (dalam bahasa ilmiahnya disebut sebagai daasr ontologisme) yaitu
merupakan hakikat, esensi, itisari, atau makna yang terdalam dari nilai-nilai
tersebut. Nilai daar ini bersifat universal karena menyangkut hakikat kenyataan
objektif segala sesuatu, misalnya hakikat Tuhan, manusia, atau yang lainnya.
2. Nilai
instrumental, merupakan suatu pedoman yang dapat diukur atau diarahkan. Nilai
instrumental merupakan suatu
eksplisitasi dari nilai dasar.
3. Nilai
praksis, pada hakikatnya merupakan penjabaran lebih lanjut dari nilai
instrumental dalam suatu kehidupan nyata.
Dari
hirearki nilai diatas, maka dapat disimpulkan bahwa hirearki nilai ini dangat
tergantung dari sudut pandang mana si penilai menilai. Misalnya orang
materialis, akan meletakkan nilai-nilai materi pada tingkat yang paling tinggi,
dan begitu juga sebaliknya pada orang religius akan menempatkan nilai-nilai
religius pada tingkatan yang paling tinggi, dan seterusnya.
BAB III
PEMBAHASAN
A. Kajian Aksiologi Dalam Filsafat Ilmu
Pendidikan
Kata
aksiologi berasal dari bahasa Inggris “axiology”; dari kata Yunani“axios” yang
artinya layak; pantas; nilai, dan “logos” artinya ilmu; studi
mengenai.Aksiologi dipahami sebagai teori nilai. Dari pengertian menurut bahasa
tersebut. Pertanyaan mengenai hakikat nilai ini dapat dijawab dengan tiga macam
cara, yaitu:
a. Nilai
sepenuhnya berhakikat subjektif. Ditinjau dari sudut pandangan ini, nilai-nilai
merupakan reaksi-reaksi yang diberikan oleh manusia sebagai pelaku. Pengikut
teori idealisme subjektif (positivisme logis, emotivisme, analisis linguistik
dalam etika) menganggap nilai sebagai sebuah fenomena kasadaran dan memandang
nilai sebagai pengungkapan perasaan psikologis, sikap subjektif manusia kepada
objek yang dinilainya.
b. Nilai-nilai
merupakan kenyataan, namun tidak terdapat dalam ruang waktu. Nilai-nilai
merupakan esensi-esensi logis dan dapat diketahui melalui akal.
c. Nilai-nilai
merupakan unsur-unsur objektif yang menyusun kenyataan.
Aksiologi
terbagi menjadi enam pandangan, yaitu,
1. Naturalisme,
yang menyatakan ukuran baik buruk ialah sesuai tidaknya perbuatan tersebut
sesuai dengan fitrah (natura) manusia.
2. Hedonisme,
yang menyatakan bahwa ukuran baik buruk ialah sejauh mana suatu perbuatan
mendatangkan kenikmatan (hedone) bagi manusia.
3. Vitalisme,
ukuran baik buruk ditentukan oleh sejauh mana suatu perbuatan tersebut dapat
mendorong manusia untuk hidup lebih maju.
4. Ultitarianisme,
Ukuran baik buruk ditentukan oleh ada tidaknya suatu perbuatan
mendatangkan manfaat bagi manusia.
5. Idealisme,
ukuran baik buruk ditentukan oleh sesuai tidaknya sesuatu perbuatan dengan
konsep ideal (rancang bangun) pikiran manusia.
6. Teologis,
baik buruknya suatu perbuatan ditentukan oleh sesuai tidaknya suatu perbuatan dengan ketentuan agama (teos=Tuhan, agama)
Sedangkan
pengertian aksiologi yang terdapat di dalam bukunya Jujun S. Suriasumantri yang
berjudul Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer mengatakan bahwa aksiologi
diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari berbagai
pengetahuan- pengetahuan yang diperoleh
atau didapat oleh manusia .
Dari
segi bahasa, kata “nilai” semakna dengan kata “axios” dalam bahasa Yunani, dan
“value” dalam bahasa Inggris. Dalam buku Enciclopedy of Philosophy, istilah
“nilai” atau value dibagi menjadi tiga bentuk, yaitu:
1. Kata
“nilai” digunakan sebagai kata benda abstrak. seperti: baik, menarik, dan
bagus. Yang dalam pengertian yang lebih luas mencakup segala bentuk kewajiban,
kebenaran dan kesucian. Sebagai kata benda asli yang berbeda dengan fakta.
2. Kata
“nilai” digunakan sebagai kata benda kongkrit. Misalnya, ketika kita berkata
sebuah “nilai” atau nilai-nilai. Pada bentuk ini, ia seringkali dipakai untuk
merujuk pada sesuatu yang bernilai, seperti ungkapan “nilai dia berapa? atau
sebuah sistem nilai. Untuk itu, ia berlawanan dengan apa-apa yang tidak
dianggap baik atau tidak bernilai.
3. Kata
“nilai” digunakan sebagai kata kerja. Seperti ungkapan atau ekspresi menilai,
memberi nilai dan dinilai. Pada bentuk ini, nilai sinonim dengan kata
“evaluasi” pada saat hal tersebut secara aktif digunakan untuk menilai.
Keterangan
di atas, menarikarik sebuah pemahaman bahwa yang dimaksud dengan “nilai” pada
hakikatnya adalah Aksiologi Ilmu Pengetahuan sesuatu yang dimiliki manusia
untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Kattsoff mengemukakan tiga cara pendekatan terhadap
nilai :
1. Pendekatan
subyektivisme, di mana nilai merupakan reaksi yang diberikan manusia sebagai pelaku berdasarkan
pengalamannya.
2. Pendekatan
obyektivisme logis, di mana nilai merupakan esensi logis yang dapat diketahui
melalui akal.
3. Pendekatan
obyektivisme-metafisik, di mana nilai merupakan unsur obyektif yang menyusun
kenyataan.
Ada
beberapa karakteristik nilai yang berkaitan dengan teori nilai, yaitu :
1. Nilai objektif atau subjektif
Nilai itu
objektif jika ia tidak bergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai;
sebaliknya nilai itu subjektif jika eksistensinya, maknanya, dan validitasnya
tergantung pada reaksi subjek yang melakukan penilaian, tanpa mempertimbangkan
apakah ini bersifat psikis atau fisik.
2. Nilai absolut atau berubah
Suatu nilai
dikatakan absolut atau abadi, apabila nilai yang berlaku sekarang sudah berlaku
sejak masa lampau dan akan berlaku sepanjang masa, serta akan berlaku bagi
siapa pun tanpa memperhatikan ras, maupun kelas sosial. Di pihak lain ada yang
beranggapan bahwa semua nilai relatif sesuai dengan keinginan atau harapan
manusia.
Terdapat
beberapa pandangan yang berkaitan dengan tingkatan atau hierarki nilai :
1. Kaum Idealis
Mereka
berpandangan secara pasti terhadap tingkatan nilai, dimana nilai spiritual
lebih tinggi dari pada nilai non spiritual (nilai material).
2. Kaum Realis
Mereka
menempatkan nilai rasional dan empiris pada tingkatan atas, sebab membantu
manusia menemukan realitas objektif, hukum-hukum alam dan aturan berfikir
logis.
3. Kaum Pragmatis
Menurut mereka,
suatu aktivitas dikatakan baik seperti yang lainnya, apabila memuaskan
kebutuhan yang penting, dan memiliki nilai instrumental. Mereka sangat sensitif
terhadap nilai-nilai yang menghargai masyarakat.
B.
Eksistensi Teori Nilai dalam Kajian Aksiologi Filsafat Ilmu Pengetahuan
Menurut
Jujun S. Suriaumantri (2009:229),
istilah aksiologi diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan
pengetahuan yang diperoleh.
Menurut
Bramel dalam bukunya Jujun S. Suriasumantri
(2009:229),secara teori, aksiologi
dibagi kepada tiga bagian, yaitu:
1. Moral Conduct (tindakan moral), bidang
ini melahirkan disiplin ilmu khusus
yaitu “ilmu etika” atau nilai etika.
2. Esthetic Expression (Ekspresi
Keindahan), bidang ini melahirkan konsep teori keindahan atau nilai estetika.
3. Sosio Political Live (Kehidupan Sosial
Politik), bidang ini melahirkan konsep
Sosio Politik atau nilai-nilai sosial dan politik.
Menurut Susanto (2011) mengatakan, ada
dua kategori dasar aksiologi: Pertama, objectiviam, yaitu penilaian terhadap
sesuatu yang dilakukan apa adanya sesuai keadaan objek yang dinilai. Kedua,
subjectiviam, yaitu penilaian terhadap sesuatu dimana dalam proses penilaian
terdapat unsur intuisi (perasaan). Dari sini muncul empat pendekatan etika,
yaitu teori nilai intuitif, teori nilai rasional, teori nilai alamiah, dan
teori nilai emotif teori nilai intuitif dan teori nilai rasional beraliran
objektivia, sedangkan teori nilai alamiah dan teori nilai emotif beraliran
subjektivia.
1.
Teori Nilai Intuitif (The Intuitive Theory of Value)
Menurut teori ini, sangat sukar jika
tidak bisa dikatakan mustahil untuk mendefimisikan suatu perangkat nilai yang
absolut. Bagaimana pun juga suatu perangkat nilai yang absolut itu eksia dalam
tatanan yang bersifat objektif. Nilai ditemukan melalui intuisi, karena ada
tatanan moral yang bersifat baku. Mereka menegaskan bahwa nilai eksia sebagai
piranti objek atau menyatu dalam hubungan antar-objek, dan validitas dari nilai
tidak bergantung pada eksistensi atau perilaku manusia. Sekali mengakui dan menemukan
seseorang nilai itu melalui proses intuitif, ia berkewajiban untuk mengatur
perilaku individual atau sosialnya selaras dengan preskripsi moralnya.
2.
Teori Nilai Rasional (The Rational Theory of Value)
Menurut teori ini, janganlah percaya
pada nilai yang bersifat obiektif dan murni independen dari manusia. Nilai ini
ditemukan sebagai hasil dari penalaran manusia. Fakta bahwa seseorang melakukan
sesuatu yang benar ketika ia tahu dengan nalarnya bahwa itu benar, sebagai
fakta bahwa hanya orang jahat atau yang lalat yang melakukan sesuatu
berlawanan dengan kehendak atau wahyu Tuhan. Jadi, dengan nalar atau peran
Tuhan nilai ultimo, objektif, absolut yang seharusnya mengarahkan perilakunya.
3.
Teori Nilai Alamiah (The Naturaliatic Theory of Value)
Menurut teori ini nilai, diciptakan manusia
bersama dengan kebutuhan dan hasrat yang dislaminya. Nilai yaitu produk
biososial, artefak manusia yang diciptakan, dipakai, diuji oleh individu dan
masyarakat untuk melayani tujuan membimbing perilaku manusia. Pendekatan
naturalia mencakup teori nilai instrumental dimana keputusan nilai tidak
absolut tetapi bersifat relatif. Nilai secara umum hakikatnya bersifat
subjektif, bergantung pada kondisi manusia.
4.
Teori Nilai Emotif (The Emotive Theory of Value)
Jika tiga aliran sebelumnya menentukan
konsep nilai dengan status kognitifnya, maka teori ini memandang bahwa konsep
moral dan etika bukanlah keputusan 43 faktual melainkan hanya merupakan
ekspresi emosi dan tingkah laku. Nilai tidak lebih dari suatu opini yang tidak
bisa diverifikasi, sekalipun diakui bahwa penelitian menjadi bagian penting
dari tindakan manusia.
Di lihat dari jenisnya paling tidak
terdapat dua teori nilai dalam kajian aksiologi dalam membangun filsafat,
yaitu:
a.
Nilai Etika
Conny R. Semiawan (2005:158) menjelaskan
tentang etika itu sebagai “The study of the nature of morality and judgement”,
kajian tentang hakikat moral dan keputusan (kegiatan menilai). Selanjutnya
Semiawan menerangkan bahwa etika sebagai prinsip atau standar perilaku manusia,
yang kadang-kadang di sebut sebagai moral. Kegiatan menilai telah di bangun
berdasarkan toleransi atau ketidakpastian. Terdapat spesifikasi tentang
toleransi yang dapat di capai. Di alam ilmu yang berkembang selangkah demi
selangkah, pertukaran informasi antar manusia selalu merupakan permainan
tentang toleransi. Perubahan ilmu di landasi oleh prinsip toleransi, hal ini
adalah demikian karena hasil penelitian dari suatu pengetahuan ilmiah sering
tidak sama dengan sifat objektif penelitian atau hasil penelitian pengetahuan
ilmiah yang lain, terutama apabila pengetahuan-pengetahuan itu tergolong dalam
kelompok-kelompok disiplin ilmu yang berbeda.
Nilai itu objektif ataukah subjektif
adalah sangat tergantung dari hasil pendangan yang muncul dari filsafat. Nilai
akan menjadi subjektif apabila subjek sangat perperan dalam segala hal,
kesadara manusia menjadi totok ukur segalanya, maknanya dan validitasnya
tergantung pada reaksi subjek yang
melakukan penilaian tanpa mempertimbangkan apakah ini bersifat fisik atau
psikis. Dengan demikian nilai subjektif akan selalu memperhatikan berbagai
pandangan akal budi manusia, seperti perasaan, intelektualitas, dan hasil
subjektif akan selalu mengarah kepada suka atau tidak suka, senang atau tidak
senang. Misalnya, seorang melihat matahari yang sedang terbenam di sore hari,
akibat yang dimunculkannya menimbulkan rasa senang karena melihat betapa indahnya
matahari itu terbenam.
Nilai itu objektif, jika ia tidak
bergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai. Nilai objektif selalu
muncul karena adanya pandangan filsafat tentang objektifisme. Objektivisme ini
beranggapan pada tolak ukur suatu gagasan yang berada pada objeknya, sesuatu
yang memiliki kadar secara realitas dan benar-benar ada. Misalnya, kebenaran tidak
bergantung pada pendapat individu, melainkan pada objektifitas fakta, kebenaran
tidak di perkuat atau di perlemah oleh prosedur-prosedur. Demikian juga dengan
nilai, orang yang berselera rendah tidak mengurangi keindahan sebuah karya.
Makna etika di pakai dalam dua bentuk
arti, yaitu
a.
Etika merupakan suatu kumpulan pengetahuan
mengenai penilaian terhadap perbuatan-perbuatan manusia, seperti “Saya pernah
belajar etika”.
b.
Etika merupakan suatu predikat yang di pakai
untuk membedakan hal-hal, perbuatan-perbuatan, atau manusia-manusia yang lain,
seperti ungkapan “Ia bersifat etis atau ia seorang yang jujur atau pembunuhan
merupakan suatu yang tidak susila”.
Etika menilai perbuatan manusia, maka
lebih tepat kalau dikatakan bahwa objek formal etika adalah norma-norma
kesusilaan manusia, dan dapat dikatakan pula bahwa etika mempelajari tingkah
laku manusia yang di tinjau dari segi baik dan tidak baik di dalam suatu
kondisi yang normatif yaitu suatu kondisi yang melibatkan norma-norma.
Etika tidak hanya berkutat pada hal-hal
yang teoritis, namun juga terkait erat dengan kehidupan konkret, oleh karena
itu ada beberapa manfaat etika yang perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan
kehidupan konkret, yaitu :
1. Perkembangan
hidup masyarakat yang semakin pluralistik menghadapkan manusia pada sekian
banyak pandangan moral yang bermacam-macam, sehingga diperlukan refleksi kritis
dari bidang etika. cotoh etika medis tentang masalah abortus, bayi tabung,
kloning, dan lain-lain.
2. Gelombag
modernisasi yang melanda disegala bidang kehidupan masyarakat, sehingga cara
fikir masyarakat pun ikut berubah. Misalnya cara berpakaian, kebutuhan
fasilitas hidup modern, dan lain-lain.
3. Etika
juga menjadikan kita sanggup menghadapi ideologi-ideologi asing yang berebutan
mempengaruhi kehidupan kita, gar tidak mudah terpancing. Artinya kita tidak
boleh tergesa-gesa memeluk pandangan baru yang belum jelas, namun tidak pula
tergesa-gesa menolak pandangan baru lantaran belum terbiasa.
4. Etika
diperlukan oleh penganut agama manapun untuk menemkan dasar kemantapan dalam
iman dan kepercayaan sekaligus memperluas wawasan terhadap semua dimensi
kehidupan masyarakat yang selalu berubah.
Dengan demikian metafisika,
epistemologi, dan aksiology (khususnya etika) merupakan cabang utama filsafat
yang terkait dengan trealitas kehidupan manusia, ermasuk perkembangan
pengetahuan. Manakala ketiga bidang fundamental filsafat itu dikaitkan dengan
proses akal budi dan pengetahuan filsafati yang diperoleh.
b.
Nilai Estetika
Mengenai Estetika, Semiawan (2005:159) menjelaskan
sebagai “the study of nature of beauty in the fine art”, mempelajari tentang
hakikat keindahan di dalam seni. Estetika merupaykan cabang filsafat yang
mengkaji tentang hakikat indah dan buruk. Estetika membantu mengarahkan dalam
membentuk suatu persepsi yang baik dari suatu pengetahuan ilmiah agar ia apat
dengan mudah dipahami oleh khalayak luas. Estetika juga berkaitan dengan
kualitas dn pembentukan mode-mode yang estetis dari suatu pengetahuan ilmiah
itu.
Dalam banyak hal, satu atau lebih sifat-sifat
dasar sudah dengan sendirinya terkandung di dalam suatu pengetahuan apabila
pengetahuan sudah lengkap mengandung sifat-sifat dasar pembenaran, sistematik,
dan intersubjektif.
Dalam estetika di bedakan menjadi estetika
deskriptif dan estetika normatif. Eestetika deskriptif menggambarkan gejala-gejala pengalaman
keindahan, sedangkan estetika normatif mencari dasar pengalaman itu. Misalnya,
di tanyakan apakah keindahan itu akhirnya sesuatu yang objektif (terletak dalam
lukisan) atau justru subjektif (terletak dalam mata manusia sendiri). Filsuf
Hegel dan Schopenhauer mencoba untuk menyusun suatu hierarki bentuk-bentuk
estetika. Hegel membedakan suatu rangkaian seni yang mulai pada arsitektur dan
berakhir pada puisi. Makin kecil unsur materi dalam suatu bentuk seni, makin
tinggi tempatnya atas tanda hierarki. Adapun tokoh Schopenhauer melihat suatu
rangkaian yang mulai pada arsitektur dan memuncak dalam musik. Musik mendapat
tempat istimewa dalam etetika.
Perbedaan lain dari estetika adalah
estetis filsafati dengan estetis ilmiah. Melihat bahwa definisi estetika
merupakan suatu persoalan filsafat yang sejak dulu sampai sekarang cukup di
perbincangkan para filsuf dan di berikan jawban yang berbeda-beda. Perbedaan
itu terlihat dari berlainannya sasaran yang dikemukakan. The Liang Gie
merumuska sasaran-sasaran itu adalah sebagai:
1. Keindahan.
2. Keindahan
dalam alam dan seni.
3. Keindahan
khusus pada seni.
4. Keindahan
di tambah seni.
5. Seni
(Segi penciptaan dan kritik seni serta hubungan dan peranan seni).
6. Citarasa.
7. Ukuran
nilai baku.
8. Keindahan
dan kejelekan.
9. Nilai
non moral (nilai estetis).
10. Benda
estetis.
11. Pengalaman
estetis
Estetis filsafat adalah estetis yang
menelaah sasarannya secara filsafati dan sering di sebut estetis tradisional.
Estetis filsafati ada yang menyebut estetis analitis, karena hanyalah mengurai.
Hal ini dibedakan estetis yang empiris atau estetis yang di pelajari secara ilmiah. Jadi,
estetika ilmiah adalah estetis yang menelaah estetis dengan metode-metode yang
ilmiah, yang tidak lagi merupakan cabang filsafat.
BAB IV
KESIMPULAN
Menurut
Bramel dalam bukunya Jujun S. Suriasumantri
(2009:229),secara teori, aksiologi
dibagi kepada tiga bagian, yaitu:
1.
Moral
Conduct (tindakan moral), bidang ini melahirkan disiplin ilmu khusus yaitu “ilmu etika” atau nilai
etika.
2.
Esthetic
Expression (Ekspresi Keindahan), bidang ini melahirkan konsep teori keindahan
atau nilai estetika.
3.
Sosio
Political Live (Kehidupan Sosial Politik), bidang ini melahirkan konsep Sosio Politik atau
nilai-nilai sosial dan politik.
Menurut
Susanto (2011) mengatakan, ada dua kategori dasar aksiologi: Pertama,
objectiviam, yaitu penilaian terhadap sesuatu yang dilakukan apa adanya sesuai
keadaan objek yang dinilai. Kedua, subjectiviam, yaitu penilaian terhadap
sesuatu dimana dalam proses penilaian terdapat unsur intuisi (perasaan). Dari
sini muncul empat pendekatan etika, yaitu
1. teori
nilai intuitif
2. teori
nilai rasional
3. teori
nilai alamiah
4.
teori nilai emotif
Di
lihat dari jenisnya paling tidak terdapat dua teori nilai dalam kajian
aksiologi dalam membangun filsafat, yaitu:
a.
Nilai Etika
Conny
R. Semiawan (2005:158) menjelaskan tentang etika itu sebagai “The study of the
nature of morality and judgement”, kajian tentang hakikat moral dan keputusan
(kegiatan menilai).
b.
Nilai Estetika
Mengenai
Estetika, Semiawan (2005:159) menjelaskan sebagai “the study of nature of
beauty in the fine art”, mempelajari tentang hakikat keindahan di dalam seni.
Tulisan ini dapat bermanfaat lebih jika disertai oleh daftar pustaka (termasuk nomor halamannya) yang jelas, agar tidak membingungkan pembaca.
BalasHapusIni berkenaan dg tradisi akademik scr online yang perlu dibangun secara baik.