Rabu, 22 Februari 2017

‘EKSISTENSI TEORI NILAI DALAM KAJIAN AKSIOLOGI FILSAFAT ILMU PENDIDIKAN’


MAKALAH MATA KULIAH
FILSAFAT ILMU PENDIDIKAN
‘EKSISTENSI TEORI NILAI DALAM KAJIAN AKSIOLOGI FILSAFAT ILMU PENDIDIKAN’


 






DOSEN PEMBIMBING :
Dr. HASANUDDIN JUMARENG, M.S
DI SUSUN OLEH :
NURJANNAH
(G2G1 16 054)
KELAS IPS C

UNIVERSITAS HALU OLEO
PROGRAM PASCA SARJANA
PENDIDIKAN IPS
2016/2017



KATA PENGANTAR

            Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul  ‘EKSISTENSI TEORI NILAI DALAM KAJIAN AKSIOLOGI FILSAFAT ILMU PENDIDIKAN’ sebagai salah satu kegiatan belajar dan sebagai tugas mata kuliah Filsafat Ilmu Pendidikan.
Penulis menyadari bahwa makalah ini tidak terlepas dari bimbingan bapak dosen, maka pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Hasanuddin Jumareng, M.S selaku dosen Mata Kuliah Filsafat Ilmu Pendidikan yang telah memberikan bimbingan selama proses perkuliahan.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih terdapat banyak kekurangan dalam penulisannya, maka dari itu diharapkan kritik dan saran yang konstruktif dari para pembaca demi kesempurnaan makalah ini. 
Semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis dan Mata Kuliah Filsafat Ilmu Pendidikan pada umumnya.

                                        Kendari,                 2017

                                                                                 
                                                                                    Penulis








DAFTAR ISI



KATA PENGANTAR         ……………………………………..  i
DAFTAR ISI                         ………………………………….       ii
BAB I PENDAHULUAN    …………………………………        1
            1.1. Latar Belakang  …………………………………        1
            1.2. Rumusan Masalah  ………………………………       2 
            1.3. Tujuan Penulisan ………………………………..        2
BAB II LANDASAN TEORI    ………………………………...   3
A.     Konsep dan Kajian Filsafat Ilmu Pendidikan…   3
B.     Konsep Nilai ………………………………………    6
BAB III  PEMBAHASAN               …………………………….   7
            A. Kajian Aksiologi Dalam
               Filsafat Ilmu Pendidikan …………………………       7
            B. Eksistensi Teori Nilai dalam Kajian Aksiologi 
               Filsafat Ilmu Pengetahuan………………………….   12
BAB III  KESIMPULAN                ……………………………    17
DAFTAR PUSTAKA          ………………………………..          18    







BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Pada era globalisasi dan modernisasi saat ini, di mana banyak terjadi  perubahan nilai nilai yang drastis akibat perubahan sosial dalam berbagai dimensi kehidupan masyarakat, maka manusia sangat membutuhkan eksistensi nilai-nilai kehidupan sebagai dasar pola pikir dan pola laku  yang wajib di aktualisasikan dalam pergaulan masyarakat.
Nilai kehidupan ini memberikan kita jaminan rasa aman dan tenang. Inilah merupakan kekayaan  sejati umat manusia. Nilai-nilai kehidupan bagaikan teman yang memberikan kebahagiaan. Dengan nilai-nilai kehidupan yaitu kerjasama, kebebasan, kebahagiaan, kejujuran, kerendahan hati,  seseorang mempunyai kehormatan diri dan martabat.
Nilai bagi manusia berfungsi sebagai landasan, alasan, atau motivasi dalam segala tingkah laku dan perbuatannya. Nilai mencerminkan kualitas pilihan tindakan dan pandangan hidup seseorang atau masyarakat. Sebuah interaksi sosial memerlukan pertimbangan nilai baik itu dalam mendapatkan hak maupun dalam menjalankan kewajiban. Dengan demikian, nilai mengandung standar normatif dalam perilaku individu maupun dalam masyarakat.
            Pembahasan tentang nilai dalam ilmu filsafat dibahas melalui cabang filsafat yang disebut aksiologi. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Teori  nilai yang dalam  filsafat mengacu pada permasalahan etika dan estetika.Oleh karena itu, dalam makalah ini kami akan membahas lebih jauh mengenai ‘EKSISTENSI TEORI NILAI DALAM KAJIAN AKSIOLOGI FILSAFAT ILMU PENDIDIKAN’


1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah ;
1.    Bagaimana Konsep Kajian Aksiologi Dalam Filsafat Ilmu Pendidikan ?
2.    Bagaimana Eksistensi Teori Nilai dalam Kajian Aksiologi  Filsafat Ilmu Pengetahuan ?

1.3 Tujuan Penulisan
Penulisan makalah bertujuan untuk membahas eksistensi teori nilai dalam kajian aksiologis filsafat ilmu pendidikan. sebagaimana yang terdapat dalam rumusan masalah di atas, yaitu :
1.    Untuk membahas konsep kajian Aksiologi dalam Filsafat Ilmu Pendidikan
2.    Untuk membahas bagaimana eksistensi Teori Nilai dalam Kajian Aksiologi  Filsafat Ilmu Pengetahuan ?










BAB II
LANDASAN TEORI
C.     Konsep dan Kajian Filsafat Ilmu Pendidikan
Perkataan Inggris philosophy yang berarti filsafat berasal dari kata Yunani “philosophia” yang lazim diterjemahkan sebagai cinta kearifan. Akar katanya ialah philos (philia, cinta) dan sophia (kearifan). Menurut pengertiannya yang semula dari zaman Yunani Kuno itu filsafat berarti cinta kearifan. Namun, cakupan pengertian sophia yang semula itu ternyata luas sekali. Dahulu sophia tidak hanya berarti kearifan saja, melainkan meliputi pula kebenaran pertama, pengetahuan luas, kebajikan intelektual, pertimbangan sehat sampai kepandaian pengrajin dan bahkan kecerdikkan dalam memutuskan soal-soal praktis.
Banyak pengertian-pengertian atau definisi-definisi tentang filsafat yang telah dikemukakan oleh para filsuf. Menurut Merriam-Webster (dalam Soeparmo, 1984), secara harafiah filsafat berarti cinta kebijaksanaan. Maksud sebenarnya adalah pengetahuan tentang kenyataan-kenyataan yang paling umum dan kaidah-kaidah realitas serta hakekat manusia dalam segala aspek perilakunya seperti: logika, etika, estetika dan teori pengetahuan.
Secara terminologi, menurut Surajiyo (2010: 4) filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki segala sesuatu yang ada secara mendalam dengan menggunakan akal sampai pada hakikatnya. Filsafat bukan mempersoalkan gejala-gejala atau fenomena, tetapi yang dicari adalah hakikat dari sesuatu fenomena. Hakikat adalah suatu prinsip yang menyatakan “sesuatu” adalah “sesuatu” itu adanya. Filsafat mengkaji sesuatu yang ada dan yang mungkin ada secara mendalam dan
Menurut sejarah kelahiran istilahnya, filsafat terwujud sebagai sikap yang ditauladankan oleh Socrates. Yaitu sikap seorang yang cinta kebijaksanaan yang mendorong pikiran seseorang untuk terus menerus maju dan mencari kepuasan pikiran, tidak merasa dirinya ahli, tidak menyerah kepada kemalasan, terus menerus mengembangkan penalarannya untuk mendapatkan kebenaran (Soeparmo, 1984).
Timbulnya filsafat karena manusia merasa kagum dan merasa heran. Pada tahap awalnya kekaguman atau keheranan itu terarah pada gejala-gejala alam. Dalam perkembangan lebih lanjut, karena persoalan manusia makin kompleks, maka tidak semuanya dapat dijawab oleh filsafat secara memuaskan. Jawaban yang diperoleh menurut Koento Wibisono dkk. (1997), dengan melakukan refleksi yaitu berpikir tentang pikirannya sendiri. Dengan demikian, tidak semua persoalan itu harus persoalan filsafat.
Seluruh ilmu hakikatnya berinduk dari filsafat. Sikap dasar selalu bertanya menjadi ciri filsafat, menurun pada berbagai cabang ilmu yang semula berinduk padanya. Karenanya, dalam semua ilmu terdapat kecenderungan dasar itu. Manakala ilmu mengalami masalah yang sulit dipecahkan, ia akan kembali pada filsafat dan memulainya dengan sikap dasar untuk bertanya. Dalam filsafat, manusia mempertanyakan apa saja dari berbagai sudut, secara totalitas menyeluruh, menyangkut hakikat inti, sebab dari segala sebab, mancari jauh ke akar, hingga ke dasar.
Secara garis besar, filsafat memiliki tiga bidang kajian filsafat, yaitu:
1. Kajian Ontologi
Ontologi membahas tentang apa yang ingin kita ketahui.
a.  Apa yang ingin diketahui oleh ilmu? atau dengan perkataan lain, apakah yang menjadi bidang telaah ilmu?
b.  Suatu pertanyaan:
c.   Obyek apa yang ditelaah ilmu ?
d.  Bagaimana wujud yang hakiki dari obyek tersebut ?
e.  Bagaimana hubungan antara obyek tadi dengan daya tangkap manusia [seperti berpikir, merasa dan mengindera] yang membuahkan pengetahuan.[inilah yang mendasari Ontologi].
Ontologi membahas bidang kajian ilmu atau obyek ilmu. Penentuan obyek ilmu diawali dari subyeknya. Yang dimaksud dengan subyek adalah pelaku ilmu. Subyek dari ilmu adalah manusia; bagian manusia paling berperan adalah daya pikirnya.
2. Kajian Epistemologi
Epistemologi mempermasalahkan kemungkinan mendasar mengenai pengetahuan[very possibility of knowledge]. Dalam perkembangannya epistemology menampakkan jarak yang asasi antara rasionalisme dan empirisme, walaupun sebenarnya terdapat kecenderungan beriringan. Landasanepistemology tercermin secara operasional dalam metode ilmiah . Pada dasarnya metode ilmiah merupakan cara ilmu memperoleh dan menyusun tubuh pengetahuan dengan berdasarkan :
a.  Kerangka pemikiran yang bersifat logis dengan argumentasi yang konsisten dengan pengetahuan sebelumnya yang telah berhasil disusun;
b.  Menjabarkan hipotesis yang merupakan deduksi dari kerangka tersebut dan melakukan verifikasi terhadap hipotesis termaksud dengan menguji kebenaran pernyataan secara factual.
3. Kajian Aksiologi
Permasalahan aksiologi meliputi sifat nilai, tipe nilai, kriteria nilai, status metafisika nilai. Pada adasarnya ilmu harus digunakan untuk kemaslahatan umat manusia. Ilmu dapat dimanfaatkan sebagai sarana untuk meningkatkan taraf hidup manusia dan kesejahteraannya dengan menitik beratkan pada kodrat dan martabat.

D.     Konsep Nilai Dalam Filsafat Ilmu Pendidikan
Nilai secara etimologi berasal dari kata value (inggris) yang berasal dari velere (latin) yang mempunyai arti kuat,baik, dan berharga. Nilai adalah suatu yang berharga,baik, dan berguna bagi manusia. Nilai dapat diartikan suatu penghargaan atau suatu kualitas terhadap suatu hal yang dapat menjadi dasar penentu tingkah laku manusia.
Hakikat dan makna nilai adalah berupa norma, etika, peraturan, undang-undang, adat kebiasaan, aturan agama dan rujukan lainnya yang memiliki harga dan dirasakan berharga bagi seseorang. Nilai bersifat abstrak, berada dibalik fakta, memunculkan tindakan, terdapat dalam moral seseorang, muncul sebagai ujung proses psikologis, dan berkembang kearah yang lebih kompleks.
Dalam Kanal pendidikan, istilah nilai mengacu pada aksiologi pendidikan, sejauh mana pendidikan itu memunculkan dan menerapkan nilai/moral kepada peserta didik (Zaim Elmubarok:11-12).
Pengertian nilai menurut para ahli (Sofyan Sauri, dan herlan Firmansyah: 2010: 3-5):
1.    Menurut Fraenkel (1977) “A Value is an idea- a concept about- what some thinks is important in life ( nilai adalah ide atau konsep tentang apa yang dipikirkan seseorang atau dianggap penting oleh seseorang)
2.    Danandjaja, nilai merupakan pengertian-pengertian (conceptions) yang dihayati seseorang mengenai apa yang lebih penting atau kurang penting, apa yang lebih baik atau kurang baik, dan apa yang lebih benar atau kurang benar.
3.    Kluckhohn (mulyana, 2004:1) Nilai adalah konsepsi (tersurat atau tersirat, yang sifatnya membedakan individu atau ciri-ciri kelompok) dari apa yang diinginkan, yang memengaruhi tindakan pilihan terhadap cara, tujuan antar dan tujuan akhir. Defenisi ini berimplikasi terhadap pemaknaan nilai-nilai budaya, seperti yang diungkapkan oleh Brameld dalam bukunya tentang landasan-landasan budaya pendidikan. Dia mengungkapkan ada enam implikasi terpenting, yaitu sebagai berikut:
a.    Nilai merupakan konstruk yang melibatkan proses kognitif (logis dan rasional) dan proses ketertarikan dan penolakan menurut kata hati.
b.    Nilai selalu berfungsi secara potensial, tetapi tidak selalu bermakna apabila diverbalisasi.
c.    Apabila hal itu berkenaan dengan budaya, nilai diungkapkan dengan cara unik oleh individu atau kelompok.
d.    Karena kehendak tertentu dapat bernilai atau tidak, maka perlu diyakini bahwa pada dasarnya disamakan (aquated) dari pada diinginkan, ia didefenisikan berdasarkan keperluan system kepribadian dan sosiol budaya untuk mencapai keteraturan dan menghargai orang lain dalam kehidupan social.
e.    Pilihan diantara nilai-nilai alternative dibuat dalam konteks ketersediaan tujuan antara (means) dan tujuan akhir (ends)
f.     Nilai itu ada, ia merupakan fakta alam, manusia, budaya, dan pada saat yang sama ia adalah norma-norma yang telah disadari.
Dari beberapa pendapat para ahli diatas, maka dapat disimpulkan bahwa nilai itu adalah sesuatu hal yang bersifat abstrak, seperti penilaian baik atau buruknya sesuatu, penting atau kurang penting, apa yang lebih baik atau kurang baik, dan apa yang lebih benar atau kurang benar yang dapat mempengaruhi perilaku manusia dalam bertindak atau berbuat sesuatu hal dalam kehidupan sosial.
Menurut Max Scheller dalam kaelan menyebutkan hirarki nilai tersebut terdiri atas (Sofyan Sauri dan Herlan Firmansyah: 2010: 9)
1.    Nilai kenikmatan, yaitu nilai yang mengenakan atau tidak mengenakan, berkitan dengan indra manusia yang menyebabkan manusia senang atau menderita.
2.    Nilai kehidupan, yaitu nilai yang penting bagi kehidupan
3.    Nilai kejiwaan, yaitu nilai yang tidak bergantung pada keadaan jasmani maupun lingkungan.
4.    Nilai kerohanian, yaitu maralitas nilai dari yang suci dan tidak suci.

Adapun dalam Notonagoro dalam Darji (11984:66-67) membagi hirearki nilai pada tiga tingkatan, yaitu sebagai berikut (Sofyan Sauri, dan Herlan Firmansyah: 2010: 9) :
1.    Nilai material, yaitu segala sesuatu yang erguna bagi unsure jasmani manusia.
2.    Nilai vital, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk dapat mengadakan kegiatan.
3.    Nilai kerohanian, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi rohani manusia.
Di Indonesia (khususnya pada dekade penataran P4), hirearki Nilai dibagi tiga (kaelan, 2002), yaitu sebagai berikut (Sofyan Sauri dan Herlan Firmansyah: 2010: 9)
1.    Nilai dasar (dalam bahasa ilmiahnya disebut sebagai daasr ontologisme) yaitu merupakan hakikat, esensi, itisari, atau makna yang terdalam dari nilai-nilai tersebut. Nilai daar ini bersifat universal karena menyangkut hakikat kenyataan objektif segala sesuatu, misalnya hakikat Tuhan, manusia, atau yang lainnya.
2.    Nilai instrumental, merupakan suatu pedoman yang dapat diukur atau diarahkan. Nilai instrumental merupakan suatu  eksplisitasi dari nilai dasar.
3.    Nilai praksis, pada hakikatnya merupakan penjabaran lebih lanjut dari nilai instrumental dalam suatu kehidupan nyata.
Dari hirearki nilai diatas, maka dapat disimpulkan bahwa hirearki nilai ini dangat tergantung dari sudut pandang mana si penilai menilai. Misalnya orang materialis, akan meletakkan nilai-nilai materi pada tingkat yang paling tinggi, dan begitu juga sebaliknya pada orang religius akan menempatkan nilai-nilai religius pada tingkatan yang paling tinggi, dan seterusnya.




BAB III
PEMBAHASAN
A.  Kajian Aksiologi Dalam Filsafat Ilmu Pendidikan
Kata aksiologi berasal dari bahasa Inggris “axiology”; dari kata Yunani“axios” yang artinya layak; pantas; nilai, dan “logos” artinya ilmu; studi mengenai.Aksiologi dipahami sebagai teori nilai. Dari pengertian menurut bahasa tersebut. Pertanyaan mengenai hakikat nilai ini dapat dijawab dengan tiga macam cara, yaitu:
a.  Nilai sepenuhnya berhakikat subjektif. Ditinjau dari sudut pandangan ini, nilai-nilai merupakan reaksi-reaksi yang diberikan oleh manusia sebagai pelaku. Pengikut teori idealisme subjektif (positivisme logis, emotivisme, analisis linguistik dalam etika) menganggap nilai sebagai sebuah fenomena kasadaran dan memandang nilai sebagai pengungkapan perasaan psikologis, sikap subjektif manusia kepada objek yang dinilainya.
b.  Nilai-nilai merupakan kenyataan, namun tidak terdapat dalam ruang waktu. Nilai-nilai merupakan esensi-esensi logis dan dapat diketahui melalui akal.
c.   Nilai-nilai merupakan unsur-unsur objektif yang menyusun kenyataan.
Aksiologi terbagi menjadi enam pandangan, yaitu,
1.    Naturalisme, yang menyatakan ukuran baik buruk ialah sesuai tidaknya perbuatan tersebut sesuai dengan fitrah (natura) manusia.
2.    Hedonisme, yang menyatakan bahwa ukuran baik buruk ialah sejauh mana suatu perbuatan mendatangkan kenikmatan (hedone) bagi manusia.
3.    Vitalisme, ukuran baik buruk ditentukan oleh sejauh mana suatu perbuatan tersebut dapat mendorong manusia untuk hidup lebih maju.
4.    Ultitarianisme, Ukuran baik buruk ditentukan oleh ada tidaknya suatu perbuatan mendatangkan  manfaat bagi manusia.
5.    Idealisme, ukuran baik buruk ditentukan oleh sesuai tidaknya sesuatu perbuatan dengan konsep ideal (rancang bangun) pikiran manusia.
6.    Teologis, baik buruknya suatu perbuatan ditentukan oleh sesuai tidaknya suatu perbuatan  dengan ketentuan agama (teos=Tuhan, agama)
Sedangkan pengertian aksiologi yang terdapat di dalam bukunya Jujun S. Suriasumantri yang berjudul Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer mengatakan bahwa aksiologi diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari berbagai pengetahuan- pengetahuan  yang diperoleh atau didapat oleh manusia .
Dari segi bahasa, kata “nilai” semakna dengan kata “axios” dalam bahasa Yunani, dan “value” dalam bahasa Inggris. Dalam buku Enciclopedy of Philosophy, istilah “nilai” atau value dibagi menjadi tiga bentuk, yaitu:
1.    Kata “nilai” digunakan sebagai kata benda abstrak. seperti: baik, menarik, dan bagus. Yang dalam pengertian yang lebih luas mencakup segala bentuk kewajiban, kebenaran dan kesucian. Sebagai kata benda asli yang berbeda dengan fakta.
2.    Kata “nilai” digunakan sebagai kata benda kongkrit. Misalnya, ketika kita berkata sebuah “nilai” atau nilai-nilai. Pada bentuk ini, ia seringkali dipakai untuk merujuk pada sesuatu yang bernilai, seperti ungkapan “nilai dia berapa? atau sebuah sistem nilai. Untuk itu, ia berlawanan dengan apa-apa yang tidak dianggap baik atau tidak bernilai.
3.    Kata “nilai” digunakan sebagai kata kerja. Seperti ungkapan atau ekspresi menilai, memberi nilai dan dinilai. Pada bentuk ini, nilai sinonim dengan kata “evaluasi” pada saat hal tersebut secara aktif digunakan untuk menilai.
Keterangan di atas, menarikarik sebuah pemahaman bahwa yang dimaksud dengan “nilai” pada hakikatnya adalah Aksiologi Ilmu Pengetahuan sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Kattsoff  mengemukakan tiga cara pendekatan terhadap nilai :
1.  Pendekatan subyektivisme, di mana nilai merupakan reaksi yang   diberikan manusia sebagai pelaku berdasarkan pengalamannya.
2.  Pendekatan obyektivisme logis, di mana nilai merupakan esensi logis yang dapat diketahui melalui akal.
3.  Pendekatan obyektivisme-metafisik, di mana nilai merupakan unsur obyektif yang menyusun kenyataan.
 Ada beberapa karakteristik nilai yang berkaitan dengan teori nilai, yaitu :
1.      Nilai objektif atau subjektif
Nilai itu objektif jika ia tidak bergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai; sebaliknya nilai itu subjektif jika eksistensinya, maknanya, dan validitasnya tergantung pada reaksi subjek yang melakukan penilaian, tanpa mempertimbangkan apakah ini bersifat psikis atau fisik.
2.      Nilai absolut atau berubah
Suatu nilai dikatakan absolut atau abadi, apabila nilai yang berlaku sekarang sudah berlaku sejak masa lampau dan akan berlaku sepanjang masa, serta akan berlaku bagi siapa pun tanpa memperhatikan ras, maupun kelas sosial. Di pihak lain ada yang beranggapan bahwa semua nilai relatif sesuai dengan keinginan atau harapan manusia.
Terdapat beberapa pandangan yang berkaitan dengan tingkatan atau hierarki nilai :
1.      Kaum Idealis
Mereka berpandangan secara pasti terhadap tingkatan nilai, dimana nilai spiritual lebih tinggi dari pada nilai non spiritual (nilai material).
2.      Kaum Realis
Mereka menempatkan nilai rasional dan empiris pada tingkatan atas, sebab membantu manusia menemukan realitas objektif, hukum-hukum alam dan aturan berfikir logis.
3.      Kaum Pragmatis
Menurut mereka, suatu aktivitas dikatakan baik seperti yang lainnya, apabila memuaskan kebutuhan yang penting, dan memiliki nilai instrumental. Mereka sangat sensitif terhadap nilai-nilai yang menghargai masyarakat.

B. Eksistensi Teori Nilai dalam Kajian Aksiologi  Filsafat Ilmu Pengetahuan

Menurut Jujun S. Suriaumantri (2009:229), istilah aksiologi diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan pengetahuan yang diperoleh.
Menurut Bramel dalam bukunya Jujun S. Suriasumantri (2009:229),secara teori,  aksiologi dibagi kepada tiga bagian, yaitu:
1.  Moral Conduct (tindakan moral), bidang ini melahirkan disiplin  ilmu khusus yaitu “ilmu etika” atau nilai etika.
2.  Esthetic Expression (Ekspresi Keindahan), bidang ini melahirkan konsep teori keindahan atau nilai estetika.
3.  Sosio Political Live (Kehidupan Sosial Politik), bidang ini  melahirkan konsep Sosio Politik atau nilai-nilai sosial dan politik.
Menurut Susanto (2011) mengatakan, ada dua kategori dasar aksiolo­gi: Pertama, objectiviam, yaitu penilaian terhadap sesuatu yang dilakukan apa adanya sesuai keadaan objek yang dinilai. Kedua, subjectiviam, yaitu penilaian terhadap sesuatu dimana dalam proses penilaian terdapat un­sur intuisi (perasaan). Dari sini muncul empat pendekatan etika, yaitu teori nilai intuitif, teori nilai rasional, teori nilai alamiah, dan teori nilai emotif teori nilai intuitif dan teori nilai rasional beraliran objektivia, se­dangkan teori nilai alamiah dan teori nilai emotif beraliran subjektivia.
1.   Teori Nilai Intuitif (The Intuitive Theory of Value)
Menurut teori ini, sangat sukar jika tidak bisa dikatakan mustahil untuk mendefimisikan suatu perangkat nilai yang absolut. Bagaimana pun juga suatu perangkat nilai yang absolut itu eksia dalam tatanan yang bersifat objektif. Nilai ditemukan melalui intuisi, karena ada tatanan moral yang bersifat baku. Mereka menegaskan bahwa nilai eksia sebagai piranti objek atau menyatu dalam hubungan antar-objek, dan validitas dari nilai tidak bergantung pada eksistensi atau perilaku manusia. Sekali mengakui dan menemukan seseorang nilai itu melalui proses intuitif, ia berkewajiban untuk mengatur perilaku individual atau sosialnya selaras dengan preskripsi moralnya.
2.   Teori Nilai Rasional (The Rational Theory of Value)
Menurut teori ini, janganlah percaya pada nilai yang bersifat obiektif dan murni independen dari manusia. Nilai ini ditemukan sebagai hasil dari penalaran manusia. Fakta bahwa seseorang melakukan sesuatu yang benar ketika ia tahu dengan nalarnya bahwa itu benar, sebagai fakta bahwa hanya orang jahat atau yang lalat yang melakukan sesuatu ber­lawanan dengan kehendak atau wahyu Tuhan. Jadi, dengan nalar atau peran Tuhan nilai ultimo, objektif, absolut yang seharusnya mengarah­kan perilakunya.
3.   Teori Nilai Alamiah (The Naturaliatic Theory of Value)
 Menurut teori ini nilai, diciptakan manusia bersama dengan kebutuh­an dan hasrat yang dislaminya. Nilai yaitu produk biososial, artefak ma­nusia yang diciptakan, dipakai, diuji oleh individu dan masyarakat untuk melayani tujuan membimbing perilaku manusia. Pendekatan naturalia mencakup teori nilai instrumental dimana keputusan nilai tidak abso­lut tetapi bersifat relatif. Nilai secara umum hakikatnya bersifat subjektif, bergantung pada kondisi manusia.
4.   Teori Nilai Emotif (The Emotive Theory of Value)
Jika tiga aliran sebelumnya menentukan konsep nilai dengan status kognitifnya, maka teori ini memandang bahwa konsep moral dan etika bukanlah keputusan 43 faktual melainkan hanya merupakan ekspresi emosi dan tingkah laku. Nilai tidak lebih dari suatu opini yang tidak bisa diverifikasi, sekalipun diakui bahwa penelitian menjadi bagian penting dari tindakan manusia.
Di lihat dari jenisnya paling tidak terdapat dua teori nilai dalam kajian aksiologi dalam membangun filsafat, yaitu:
a.       Nilai Etika
Conny R. Semiawan (2005:158) menjelaskan tentang etika itu sebagai “The study of the nature of morality and judgement”, kajian tentang hakikat moral dan keputusan (kegiatan menilai). Selanjutnya Semiawan menerangkan bahwa etika sebagai prinsip atau standar perilaku manusia, yang kadang-kadang di sebut sebagai moral. Kegiatan menilai telah di bangun berdasarkan toleransi atau ketidakpastian. Terdapat spesifikasi tentang toleransi yang dapat di capai. Di alam ilmu yang berkembang selangkah demi selangkah, pertukaran informasi antar manusia selalu merupakan permainan tentang toleransi. Perubahan ilmu di landasi oleh prinsip toleransi, hal ini adalah demikian karena hasil penelitian dari suatu pengetahuan ilmiah sering tidak sama dengan sifat objektif penelitian atau hasil penelitian pengetahuan ilmiah yang lain, terutama apabila pengetahuan-pengetahuan itu tergolong dalam kelompok-kelompok disiplin ilmu yang berbeda.
Nilai itu objektif ataukah subjektif adalah sangat tergantung dari hasil pendangan yang muncul dari filsafat. Nilai akan menjadi subjektif apabila subjek sangat perperan dalam segala hal, kesadara manusia menjadi totok ukur segalanya, maknanya dan validitasnya tergantung pada reaksi  subjek yang melakukan penilaian tanpa mempertimbangkan apakah ini bersifat fisik atau psikis. Dengan demikian nilai subjektif akan selalu memperhatikan berbagai pandangan akal budi manusia, seperti perasaan, intelektualitas, dan hasil subjektif akan selalu mengarah kepada suka atau tidak suka, senang atau tidak senang. Misalnya, seorang melihat matahari yang sedang terbenam di sore hari, akibat yang dimunculkannya menimbulkan rasa senang karena melihat betapa indahnya matahari itu terbenam.
Nilai itu objektif, jika ia tidak bergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai. Nilai objektif selalu muncul karena adanya pandangan filsafat tentang objektifisme. Objektivisme ini beranggapan pada tolak ukur suatu gagasan yang berada pada objeknya, sesuatu yang memiliki kadar secara realitas dan benar-benar ada. Misalnya, kebenaran tidak bergantung pada pendapat individu, melainkan pada objektifitas fakta, kebenaran tidak di perkuat atau di perlemah oleh prosedur-prosedur. Demikian juga dengan nilai, orang yang berselera rendah tidak mengurangi keindahan sebuah karya.
Makna etika di pakai dalam dua bentuk arti, yaitu
a.    Etika merupakan suatu kumpulan pengetahuan mengenai penilaian terhadap perbuatan-perbuatan manusia, seperti “Saya pernah belajar etika”.
b.    Etika merupakan suatu predikat yang di pakai untuk membedakan hal-hal, perbuatan-perbuatan, atau manusia-manusia yang lain, seperti ungkapan “Ia bersifat etis atau ia seorang yang jujur atau pembunuhan merupakan suatu yang tidak susila”.
Etika menilai perbuatan manusia, maka lebih tepat kalau dikatakan bahwa objek formal etika adalah norma-norma kesusilaan manusia, dan dapat dikatakan pula bahwa etika mempelajari tingkah laku manusia yang di tinjau dari segi baik dan tidak baik di dalam suatu kondisi yang normatif yaitu suatu kondisi yang melibatkan norma-norma.
Etika tidak hanya berkutat pada hal-hal yang teoritis, namun juga terkait erat dengan kehidupan konkret, oleh karena itu ada beberapa manfaat etika yang perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan kehidupan konkret, yaitu :
1. Perkembangan hidup masyarakat yang semakin pluralistik menghadapkan manusia pada sekian banyak pandangan moral yang bermacam-macam, sehingga diperlukan refleksi kritis dari bidang etika. cotoh etika medis tentang masalah abortus, bayi tabung, kloning, dan lain-lain.
2. Gelombag modernisasi yang melanda disegala bidang kehidupan masyarakat, sehingga cara fikir masyarakat pun ikut berubah. Misalnya cara berpakaian, kebutuhan fasilitas hidup modern, dan lain-lain.
3. Etika juga menjadikan kita sanggup menghadapi ideologi-ideologi asing yang berebutan mempengaruhi kehidupan kita, gar tidak mudah terpancing. Artinya kita tidak boleh tergesa-gesa memeluk pandangan baru yang belum jelas, namun tidak pula tergesa-gesa menolak pandangan baru lantaran belum terbiasa.
4. Etika diperlukan oleh penganut agama manapun untuk menemkan dasar kemantapan dalam iman dan kepercayaan sekaligus memperluas wawasan terhadap semua dimensi kehidupan masyarakat yang selalu berubah.
Dengan demikian metafisika, epistemologi, dan aksiology (khususnya etika) merupakan cabang utama filsafat yang terkait dengan trealitas kehidupan manusia, ermasuk perkembangan pengetahuan. Manakala ketiga bidang fundamental filsafat itu dikaitkan dengan proses akal budi dan pengetahuan filsafati yang diperoleh.
b.      Nilai Estetika
Mengenai Estetika, Semiawan (2005:159) menjelaskan sebagai “the study of nature of beauty in the fine art”, mempelajari tentang hakikat keindahan di dalam seni. Estetika merupaykan cabang filsafat yang mengkaji tentang hakikat indah dan buruk. Estetika membantu mengarahkan dalam membentuk suatu persepsi yang baik dari suatu pengetahuan ilmiah agar ia apat dengan mudah dipahami oleh khalayak luas. Estetika juga berkaitan dengan kualitas dn pembentukan mode-mode yang estetis dari suatu pengetahuan ilmiah itu.
Dalam banyak hal, satu atau lebih sifat-sifat dasar sudah dengan sendirinya terkandung di dalam suatu pengetahuan apabila pengetahuan sudah lengkap mengandung sifat-sifat dasar pembenaran, sistematik, dan intersubjektif.
 Dalam estetika di bedakan menjadi estetika deskriptif dan estetika normatif. Eestetika deskriptif  menggambarkan gejala-gejala pengalaman keindahan, sedangkan estetika normatif mencari dasar pengalaman itu. Misalnya, di tanyakan apakah keindahan itu akhirnya sesuatu yang objektif (terletak dalam lukisan) atau justru subjektif (terletak dalam mata manusia sendiri). Filsuf Hegel dan Schopenhauer mencoba untuk menyusun suatu hierarki bentuk-bentuk estetika. Hegel membedakan suatu rangkaian seni yang mulai pada arsitektur dan berakhir pada puisi. Makin kecil unsur materi dalam suatu bentuk seni, makin tinggi tempatnya atas tanda hierarki. Adapun tokoh Schopenhauer melihat suatu rangkaian yang mulai pada arsitektur dan memuncak dalam musik. Musik mendapat tempat istimewa dalam etetika.
Perbedaan lain dari estetika adalah estetis filsafati dengan estetis ilmiah. Melihat bahwa definisi estetika merupakan suatu persoalan filsafat yang sejak dulu sampai sekarang cukup di perbincangkan para filsuf dan di berikan jawban yang berbeda-beda. Perbedaan itu terlihat dari berlainannya sasaran yang dikemukakan. The Liang Gie merumuska sasaran-sasaran itu adalah sebagai:
1.      Keindahan.
2.      Keindahan dalam alam dan seni.
3.      Keindahan khusus pada seni.
4.      Keindahan di tambah seni.
5.      Seni (Segi penciptaan dan kritik seni serta hubungan dan peranan seni).
6.      Citarasa.
7.      Ukuran nilai baku.
8.      Keindahan dan kejelekan.
9.      Nilai non moral (nilai estetis).
10.   Benda estetis.
11.   Pengalaman estetis
Estetis filsafat adalah estetis yang menelaah sasarannya secara filsafati dan sering di sebut estetis tradisional. Estetis filsafati ada yang menyebut estetis analitis, karena hanyalah mengurai. Hal ini dibedakan estetis yang empiris atau estetis  yang di pelajari secara ilmiah. Jadi, estetika ilmiah adalah estetis yang menelaah estetis dengan metode-metode yang ilmiah, yang tidak lagi merupakan cabang filsafat.





BAB IV
                                                KESIMPULAN
Menurut Bramel dalam bukunya Jujun S. Suriasumantri (2009:229),secara teori,  aksiologi dibagi kepada tiga bagian, yaitu:
1.    Moral Conduct (tindakan moral), bidang ini melahirkan disiplin  ilmu khusus yaitu “ilmu etika” atau nilai etika.
2.    Esthetic Expression (Ekspresi Keindahan), bidang ini melahirkan konsep teori keindahan atau nilai estetika.
3.    Sosio Political Live (Kehidupan Sosial Politik), bidang ini  melahirkan konsep Sosio Politik atau nilai-nilai sosial dan politik.
Menurut Susanto (2011) mengatakan, ada dua kategori dasar aksiolo­gi: Pertama, objectiviam, yaitu penilaian terhadap sesuatu yang dilakukan apa adanya sesuai keadaan objek yang dinilai. Kedua, subjectiviam, yaitu penilaian terhadap sesuatu dimana dalam proses penilaian terdapat un­sur intuisi (perasaan). Dari sini muncul empat pendekatan etika, yaitu
1.    teori nilai intuitif
2.    teori nilai rasional
3.    teori nilai alamiah
4.    teori nilai emotif
Di lihat dari jenisnya paling tidak terdapat dua teori nilai dalam kajian aksiologi dalam membangun filsafat, yaitu:
a. Nilai Etika
Conny R. Semiawan (2005:158) menjelaskan tentang etika itu sebagai “The study of the nature of morality and judgement”, kajian tentang hakikat moral dan keputusan (kegiatan menilai).
b. Nilai Estetika
Mengenai Estetika, Semiawan (2005:159) menjelaskan sebagai “the study of nature of beauty in the fine art”, mempelajari tentang hakikat keindahan di dalam seni.





1 komentar:

  1. Tulisan ini dapat bermanfaat lebih jika disertai oleh daftar pustaka (termasuk nomor halamannya) yang jelas, agar tidak membingungkan pembaca.
    Ini berkenaan dg tradisi akademik scr online yang perlu dibangun secara baik.

    BalasHapus